Tanpa melihat latar belakang apa yang menyebabkan Sisyphus dihukum (tokoh dalam kisah mitologi Yunani Kuno yang mendorong batu besar ke puncak bukit mulai pagi hingga sore hari, namun batu itu pun kembali menggelinding ke lembah di sore hari), semestinya kita menyadari apa yang dilakukan Sisyphus adalah sebuah kesia-siaan, sebuah kebodohan.
www.unesa.ac.id
Saya jadi membayangkan kisah Sisyphus ketika mencermati kebijakan pemerintah terkait Program Latihan (semestinya Pelatihan?) Profesi Guru (PLPG). Setidak-tidaknya ada sejumlah pertanyaan yang menggelayut di kepala. Pertama, sudahkah penyelenggaraan PLPG telah memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah, terutama bagi guru-guru yang terkena kegiatan tersebut? Kedua, sudahkah hasil tes yang dilakukan pada setiap akhir kegiatan digunakan untuk mengevaluasi program? Ketiga, adakah perubahan pola penyelenggaraan kegiatan PLPG dari tahun ke tahun? Keempat, adakah perubahan muatan materi pelatihan dari tahun ke tahun? Kelima, apa yang menjadi dasar penentuan muatan materi pelatihan PLPG: kebutuhan guru di lapangankah atau sekadar asumsi?
Ketika pemerintah (baca Kemdikbud) mengubah pola penilaian kompetensi guru dalam rangka memberikan sertifikat pendidik dari penilaian portofolio ke penilaian kompetensi melalui tes akhir, penilaian proses, dan penilaian produk setelah guru mengikuti PLPG, ada secercah harapan yang baik terkait dengan peningkatan mutu guru. Harapannya hasil ini akan berdampak pula terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Melalui PLPG ini dilakukan kegiatan bagi guru yang akan tersertifikasi pendidik sebanyak 90 jam kegiatan. Pola ini dipandang lebih bijaksana bila dibandingkan dengan pola sebelumnya, yakni melalui penilaian portofolio guru, yang dalam pelaksanaannya telah terjadi manipulasi (baca pemalsuan) data yang dilakukan guru dalam menuliskan portofolionya.
Hingga saat ini PLPG setidaknya telah berlangsung empat kali dengan pola muatan materi secara umum sama, yang meliputi tiga hal: pendalaman materi, workshop, dan peer-teaching. Yang berbeda adalah alokasi waktu dan substansi kajian. Dari sisi alokasi waktu terlihat perubahan berikut. Jika pada tahun 2010 ketiga materi itu diberikan dengan alokasi waktu yang seimbang, pada tahun 2011 workshop memperoleh alokasi waktu yang lebih banyak, yakni dua kali porsi untuk pendalaman materi. Peer-teaching memperoleh porsi waktu yang masih sama dengan tahun 2011, yakni 33%. Pada tahun 2012 peer-teaching hanya memperoleh alokasi waktu 22%, yang berarti turun sepertiga bagian dari sebelumnya. Pada waktu itu porsi waktu untuk pendalaman materi mencapai 50%. Sisanya adalah alokasi waktu untuk workshop. Pola pembagian waktu ini dipertahankan untuk tahun 2013.
Muatan materi PLPG untuk pendalaman materi didasarkan kepada muatan materi kurikulum sekolah. Jika pada pelaksanaan PLPG tahun 2010, 2011, dan 2012 materi diorientasikan kepada Kurikulum 2006 (KTSP), pada PLPG 2013 muatan materinya disesuaikan dengan muatan Kurikulum 2013, yang perubahannya cukup signifikan. Muatan materi workshop diarahkan untuk pembuatan perangkat pembelajaran, sedangkan peer-teaching dilakukan melalui simulasi mengajar dengan siswa teman guru peserta PLPG. (bersambung)
Share It On: